Thursday, 12 March 2015

CI(n)THA - Modus Data Terbesar Matematika



Tiga nasi goreng yang Reza, Metha, dan Dini pesan pun akhirnya tiba, sementara pesananku belum matang juga karena memang pesananku berbeda dengan yang lain. Jadi aku harus sedikit bersabar menunggunya. Metha dan Dini memilih untuk mulai makan terlebih dahulu sementara Reza menungguku, aku sadar Reza menungguku bukan karena solid atau semacamnya yang mementingkan pertemanan diatas segalanya, tapi karena Reza tahu sebuah fakta kalau ‘perempuan kalau makan itu LAMA’.
Jadi bisa dibilang kita sengaja memberikan start terebih dahulu untuk para perempuan ini karena kita tahu meskipun kita telah memberikan start terebih dahulu pun belum tentu mereka bisa selesai lebih cepat dari laki-laki. Lima menit pun berlalu aku melihat Metha dan Dini baru makan beberapa suap saja, padahal jika aku dan Reza yang makan kita pasti sudah selesai dan masih ada sisa satu menit. Maklum saja saat kami pelantikan Marching Banda dulu, aku dan Reza sadar bahwa kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada sehingga semua yang kami kerjakan bisa selesai lebih cepat.

Akhirnya makananku pun sampai tapi bukan seperti yang aku harapkan karena yang datang padaku adalah kwetiaw goreng dan bukan mie goreng seperti yang aku harapkan. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku kira pelayanan yang mengantar makanan ini salah atau bercanda, tapi aku lihat dia kembali melayani yang lain jadi aku kira dia tidak merasa bersalah.
“Lu bukannya mesen mie goreng ya? Udah tuker aja ci, ngablu tuh abangnya” kata Metha sembari menunjuk tukang nasi goreng itu dengan garpu.
“Udah tha gapapa ko, gua juga suka kwetiaw” jawabku.
Dan faktanya aku adalah omnivora jadi aku memakan segalanya bahkan pesanan salah pun akan aku tetap makan dan tidak ada protes sedikitpun yang keluar dari mulutku. Karena aku tahu tukang nasi goreng juga manusia, punya rasa punya hati, jadi aku sangat mengerti kalau dia bisa lupa dan seperti lagu Seurius dalam hati nurani tukang nasi goreng berkata “ tolong jangan samakan kami dengan botol kecap Nasional”.
Tidak hanya itu aku pun terkadang memakan makanan sisa yang tidak habis karena teman-temanku atau keluargaku tidak sanggup lagi untuk memakannya, kenapa? Aku yakin sebagian dari kalian tidak pernah melakukan itu karena ‘buat apa sih?’ atau ‘itukan bekas!’ atau yang paling parah ‘udah buang aja!’. HEY! Makanlah selama kau masih bisa makan, jadi apa salahnya kalau kita memakan makanan bekas atau sisa dari orang lain karena aku yakin, ini semua hanyalah masalah gengsi aja.
Setelah selesai makan, aku, Reza, Metha, dan Dini naik transjakarta untuk pulang kerumah kami masing-masing, meskipun berbeda halte tapi kami satu arah, kami menaiki transjakarta koridor 3 yaitu jurusan Kalideres – Pasar Baru. Keadaan bus yang kami naiki cukup ramai, semua orang dapat duduk dan ada beberapa sisanya yang berdiri. Kami duduk di koridor belakang. Aku bersebelahan dengan Metha, dan Reza bersebelahan dengan Dini. Melihat Dini yang duduk bersebelahan dengan Reza, aku melihat Metha hanya tersenyum dan sedikit menyidir dengan keadaan itu. Aku yang tidak tahu apa-apa menjadi bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi jika dilihat wajah Reza jadi merah dan sedikit salah tingkah, bingung mencari topik apa yang harusnya dibicarakan. Tapi tiba-tiba Metha pura-pura batuk dan berkata.
“Hemm, hemm. Modus!” sindirnya dengan volume yang cukup besar, istilah musiknya adalah mf atau metzo forte atau agak keras.
“Apaan dah tha? Modus apaan dah?” tanya Reza yang mukanya merah, pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa.
“Loh bukannya modus itu data terbesar matematika ya?” jawabku dengan wajah datar dan tidak volume suara yang forte a.k.a. keras.
Dengan wajah datar aku melihat sekelilingku yang tanpa ku sadari semua penunmpang transjakarta melihatku dengan tampang yang aneh. Reza, Dini, dan Metha hanya bisa menahan rasa tawanya yang melihat reaksi spontanku karena pada kenyataanya aku memang tidak tahu arti dari modus yang Metha bicarakan. Dan akhirnya selama dalam perjalanan Metha menjelaskan padaku tentang arti modus yang dia bicarakan. Tiap berhenti satu halte, bus transjakarta yang kami naiki semakin ramai dan itu membuat cerita Metha tentang hubungan Reza dan Dini menjadi lebih seru, terlebih melihat wajah Metha dengan sedikit jerawat membuat perjalanan ini terasa panjang, karena aku tidak memperhatikan apa yang dia ceritakan, tapi lebih memperhatikan wajah yang ada di depanku itu.

Bersambung......
Sampai ketemu hari Kamis, 17 Maret 2015

1 comment:

Anonymous said...

Kak, mana nih lanjutannya? Udah lewat dari 17 Maret loh :(